Oleh: Junaidi Ismail, SH | Poros Wartawan Lampung
KETIKA negara hadir dengan semangat pembangunan yang seragam, kadang realitas sosial budaya di daerah terabaikan. Padahal Indonesia bukan hanya Jakarta, bukan hanya Pulau Jawa. Indonesia adalah harmoni ratusan suku, ribuan pulau, dan berjuta identitas yang harus dihargai dan dilindungi. Salah satu yang kini perlu perhatian khusus adalah eksistensi komunitas masyarakat asli Lampung.
Sudah saatnya Gubernur Lampung Rahmat Mirzani Djausal (RMD) meniru langkah-langkah berani dan berpihak yang diambil oleh para pemimpin daerah lain seperti Gubernur Bali dan Wakil Gubernur Kalimantan Barat.
Gubernur Bali mengambil kebijakan unik dan penuh kearifan lokal dengan memberikan insentif khusus kepada keluarga yang memiliki anak ketiga dan keempat. Secara spesifik, insentif itu ditujukan untuk anak yang diberi nama tradisional Bali, yaitu “Nyoman” (anak ketiga) dan “Ketut” (anak keempat). Kebijakan ini bukan sekadar soal nama atau insentif. Ini adalah bentuk afirmasi, penguatan budaya, sekaligus upaya penyelamatan keberlanjutan komunitas asli Bali yang makin terdesak oleh perkembangan zaman.
Lebih progresif lagi, Wakil Gubernur Kalimantan Barat menyerukan pelarangan program Keluarga Berencana (KB) bagi masyarakat asli Kalimantan Barat. Langkah ini menuai pro dan kontra, namun jika dicermati lebih dalam, ini adalah bentuk perlindungan terhadap masyarakat lokal yang kini menghadapi tekanan demografis dan marjinalisasi akibat arus migrasi dan urbanisasi yang masif.
Lalu bagaimana dengan Lampung? Provinsi ini telah lama menjadi rumah bagi berbagai etnis dari seluruh Indonesia, terutama dari Pulau Jawa dan Sunda, sebagai akibat dari program transmigrasi besar-besaran sejak pra kemerdekaan hingga era Orde Baru. Memang, pluralisme ini adalah kekayaan. Namun, dalam praktiknya, tak jarang komunitas asli Lampung justru menjadi minoritas secara kultural, politik, bahkan demografis di tanahnya sendiri.
Lambat laun, bahasa Lampung makin jarang digunakan di ruang publik. Adat istiadat Lampung makin terpinggirkan, bahkan tidak dikenali lagi oleh sebagian generasi muda asli Lampung. Lalu, apakah kita akan terus membiarkan ini terjadi?
Program Keluarga Berencana sejatinya adalah langkah pengendalian penduduk yang bertujuan mulia. Namun dalam implementasinya, KB justru seringkali menyamaratakan semua komunitas tanpa melihat kebutuhan dan kondisi lokal. Di Lampung, komunitas asli yang jumlahnya sudah kecil, tetap dianjurkan untuk membatasi kelahiran, padahal dari sisi pelestarian budaya dan regenerasi, mereka sangat membutuhkan afirmasi populasi.
Ironisnya, komunitas etnis pendatang yang telah mapan dan berkembang pesat secara jumlah justru tidak dibatasi secara efektif. Inilah ketimpangan kebijakan yang terjadi karena pendekatan nasional tidak peka terhadap dinamika lokal.
Maka sangat masuk akal jika kebijakan KB di Lampung diarahkan secara lebih selektif, peruntukkan program KB sebaiknya difokuskan pada etnis yang sudah mendominasi populasi, seperti Jawa dan Sunda, bukan diberlakukan secara pukul rata.
Gubernur Lampung perlu menyadari bahwa langkah afirmatif tidak berarti anti-keberagaman. Justru sebaliknya, keberagaman akan lebih sehat bila semua suku bisa hidup berdampingan dengan identitas dan martabat yang setara. Maka keberpihakan kepada masyarakat asli Lampung adalah upaya menyeimbangkan keadaan yang sudah terlalu timpang.
Berikut beberapa langkah yang dapat dipertimbangkan oleh Gubernur Lampung:
Pertama, Memberi Insentif Kelahiran untuk Anak Ke-3 dan Ke-4 bagi Masyarakat Adat Lampung.
Seperti halnya di Bali, insentif ini bisa berbasis pada nama atau garis keturunan Lampung.
Kemudian, Mengevaluasi Ulang Penerapan Program KB di Komunitas Asli Lampung.
Jangan jadikan KB sebagai alat pemusnahan budaya secara diam-diam.
Lalu, Meluncurkan Program Pelestarian dan Regenerasi Adat Lampung.
Pendidikan bahasa Lampung, adat istiadat, dan penguatan identitas di sekolah-sekolah negeri perlu digalakkan.
Berikutnya, Memberikan Kuota Politik dan Ekonomi untuk Komunitas Lokal.
Ini bisa berupa afirmasi dalam ASN, beasiswa khusus, dan program UMKM berbasis lokalitas.
Terakhir, Membentuk Satgas Perlindungan Komunitas Adat.
Satgas ini bertugas memonitor dan melindungi hak-hak masyarakat Lampung dari berbagai bentuk marginalisasi.
Kita tidak sedang bicara tentang kebijakan eksklusif yang mendiskriminasi. Yang kita perjuangkan adalah keadilan sosial dalam arti sesungguhnya. Saat kelompok mayoritas tak butuh perlindungan, maka sudah sepantasnya negara dan pemerintah daerah hadir melindungi kelompok minoritas, termasuk masyarakat asli Lampung di tanahnya sendiri.
Jika tidak sekarang, kapan lagi? Jika bukan Gubernur Lampung, siapa lagi yang akan peduli?
Tulisan ini bukan diskriminasi, tetapi merupakan bentuk cinta yang menyelamatkan keberagaman dari kepunahan. (*)