Oleh: Junaidi Ismail, SH | Poros Wartawan Lampung
INDONESIA memiliki lebih dari satu juta masjid dan mushalla. Ini bukan sekadar angka statistik keagamaan, tapi sekaligus potensi besar yang jika dikelola dengan visi sosial keumatan bisa menjadi solusi konkret bagi jutaan anak yatim, difabel duafa, dan kaum fakir miskin di negeri ini.
Namun sayangnya, di tengah jumlah yang luar biasa itu, tidak semua masjid menjalankan fungsinya secara utuh sebagai pusat pelayanan sosial umat. Banyak yang lebih fokus pada kegiatan ibadah ritual, namun kurang memberi perhatian terhadap dimensi sosial dari ajaran Islam. Padahal, Islam adalah agama rahmat bagi seluruh alam, yang mengajarkan empati, kepedulian, dan keadilan sosial.
Ketika pemerintah abai dan lalai, entah karena keterbatasan anggaran, buruknya manajemen birokrasi, atau lemahnya komitmen politik terhadap kelompok marginal, maka masjid semestinya hadir sebagai penopang dan penyeimbang. Masjid tidak hanya tempat sujud, tetapi juga tempat bangkit. Tempat orang-orang kecil menemukan pelukan hangat, bukan hanya nasihat moral.
Masjid harus menjadi rumah sosial, bukan sekadar rumah ibadah. Di sinilah seharusnya kita bisa menyaksikan program santunan untuk anak-anak yatim, pembinaan bagi difabel duafa, pemberdayaan ekonomi untuk kaum miskin, dan layanan pendidikan gratis bagi anak-anak jalanan.
Bayangkan jika dari lebih satu juta masjid di Indonesia, setengahnya saja memiliki program santunan rutin bagi lima hingga sepuluh anak yatim atau fakir miskin di sekitarnya. Itu artinya, jutaan anak-anak bisa terbantu tanpa harus menunggu bantuan dari negara yang sering datang terlambat, atau bahkan tak pernah datang sama sekali.
Sudah saatnya kita mereformasi cara pandang dalam kepengurusan masjid. Takmir masjid jangan hanya diisi oleh orang-orang yang paham soal ibadah mahdhah, tetapi juga mereka yang punya kepekaan sosial tinggi. Harus ada bidang atau divisi khusus dalam struktur takmir masjid yang fokus pada pelayanan sosial yakni santunan anak yatim, bantuan untuk difabel, pendampingan kaum dhuafa, dan seterusnya.
Divisi ini tidak perlu bekerja sendiri. Mereka bisa menjalin kemitraan dengan BAZNAS, lembaga filantropi Islam, LSM sosial, dan juga komunitas lokal. Dengan sinergi dan manajemen yang baik, masjid tidak hanya mampu mengumpulkan zakat, infaq, dan sedekah, tapi juga mengelolanya secara tepat sasaran, transparan, dan akuntabel.
Lebih dari itu, masjid juga harus menjadi tempat edukasi keuangan umat. Mengajari jamaahnya bagaimana mengelola sedekah, bagaimana menyusun program donasi berkelanjutan, dan bagaimana memetakan kebutuhan sosial di lingkungannya. Sebab, banyak niat baik yang gagal bukan karena kekurangan dana, tetapi karena buruknya perencanaan dan kurangnya pengetahuan manajerial.
Apa yang saya usulkan ini sejatinya bukan hal baru. Ini adalah warisan langsung dari Rasulullah SAW. Sejak awal kenabiannya, Rasul sangat dekat dengan anak-anak yatim, para janda, budak, dan kaum miskin. Bahkan dalam salah satu haditsnya, Rasulullah bersabda:
“Aku dan orang yang menanggung anak yatim (kedudukannya) di surga seperti ini,” lalu beliau mengisyaratkan dengan jari telunjuk dan jari tengah serta merenggangkan keduanya. (HR. Bukhari).
Rasul tidak sekadar berbicara soal ibadah, tetapi langsung mempraktikkan nilai-nilai sosial Islam. Beliau membangun sistem solidaritas yang konkret, mempersaudarakan kaum Muhajirin dan Anshar, membebaskan budak, mendamaikan suku-suku yang bertikai, dan tentu saja memuliakan kaum dhuafa.
Inilah teladan sejati masjid. Sebuah institusi yang tidak hanya berbicara tentang surga, tapi juga menjawab jeritan lapar dan air mata di bumi.
Saat ini, dunia bergerak dengan cepat. Kesenjangan sosial makin nyata. Di tengah kemajuan teknologi, masih banyak anak-anak yang tidur dengan perut kosong. Di balik pembangunan infrastruktur megah, masih ada ibu-ibu janda yang terpinggirkan. Di antara kerlap-kerlip kota, masih banyak pemuda difabel yang hidup tanpa harapan.
Semua ini tidak bisa kita serahkan sepenuhnya kepada negara. Kita sebagai umat Islam harus bangkit. Dan masjid adalah pusat kebangkitan itu.
Masjid harus menjadi ruang yang terbuka, inklusif, dan berpihak pada yang lemah. Ia harus bersinergi dengan berbagai elemen masyarakat. Ia harus aktif menyapa masyarakat, bukan hanya menunggu jamaah datang. Ia harus menjadi bagian dari denyut nadi kehidupan sosial, bukan hanya simbol arsitektural keislaman.
Mari kita bermuhasabah. Apakah masjid kita hari ini sudah cukup ramah terhadap anak yatim? Sudahkah masjid kita memuliakan kaum difabel? Sudahkah masjid kita menjadi pelindung bagi fakir miskin?
Jika belum, mari kita ubah. Dari masjid, kita bangun peradaban. Dari masjid, kita bangkitkan solidaritas. Dan dari masjid pula, kita ukir sejarah baru bahwa Islam bukan sekadar agama yang mengajarkan ibadah, tapi juga membebaskan manusia dari penderitaan.
Sebab, masjid bukan hanya tempat sujud, ia adalah rumah kasih sayang, harapan, dan keadilan sosial.
Wallahu a’lam bisshawab. (*)