Bentengi Indonesia dari Adu Domba

Oleh: Junaidi Ismail,SH | Ketua Umum Poros Wartawan Lampung

INDONESIA adalah rumah besar kita semua. Dari Sabang sampai Merauke, dari Miangas sampai Pulau Rote, bangsa ini dibangun atas dasar semangat persatuan yang diikat dalam kebinekaan. Namun, sejarah pun mencatat sebesar apa pun bangunan itu, jika pondasinya retak, maka pelan-pelan ia akan runtuh. Kini, kita sedang menyaksikan berbagai upaya pemecahbelahan yang menyusup halus, sistematis, dan nyaris tanpa disadari oleh sebagian anak bangsa.

Perpecahan bukan sesuatu yang lahir tiba-tiba. Ia ibarat api kecil yang dibiarkan menyala di tengah tumpukan jerami. Isu agama, ras, suku, bahkan perbedaan pilihan politik terus saja dimainkan, baik secara langsung maupun terselubung, demi ambisi-ambisi sempit yang merusak sendi-sendi kebangsaan.

Ada pihak-pihak yang seolah bahagia melihat rakyat kita saling curiga, saling hujat, bahkan saling benci. Mereka menggiring opini, memelintir informasi, memecah barisan rakyat. Mereka tak ingin bangsa ini utuh dan kuat, karena persatuan kita adalah ancaman bagi agenda adu domba mereka.

Kita sudah pernah belajar dari sejarah. Peristiwa G30S/PKI, kerusuhan Mei 1998, hingga konflik horizontal di Maluku dan Poso adalah bukti bahwa jika kita lengah, bangsa ini bisa terjebak dalam kekacauan. Tapi kita juga pernah membuktikan ketika rakyat bersatu, tak ada badai yang tak bisa dilalui.

Reformasi adalah hasil dari keberanian rakyat yang bersatu menolak ketidakadilan. Aceh dan Papua mulai berdamai ketika pendekatan militer berganti menjadi pendekatan hati. Semua itu terjadi karena ada kesadaran kolektif bahwa kita adalah satu, satu bangsa, satu tanah air, satu bahasa persatuan.

Hari ini, upaya memecah belah tidak hanya datang dari luar negeri, tetapi juga bisa dari dalam. Polanya semakin canggih, dikemas dalam kemasan digital, hoaks di media sosial, fitnah berantai di grup WhatsApp, kampanye hitam di masa pemilu, hingga narasi provokatif di konten-konten viral.

Ironisnya, tak sedikit rakyat yang termakan oleh narasi palsu. Kita mulai menghakimi saudara sendiri hanya karena berbeda pilihan politik, kita mulai membenci sesama hanya karena berbeda cara beribadah, bahkan kita mulai mengingkari nilai-nilai Pancasila yang menjadi dasar hidup bersama.

Sebagai Ketua Umum Poros Wartawan Lampung, saya mengajak para jurnalis dan pegiat media untuk kembali kepada roh profesi menjadi pelita di tengah gelap, bukan bara yang membakar. Kita tidak hanya menulis berita, tapi membentuk nalar publik. Kita tidak hanya menyampaikan informasi, tapi juga menjaga bangsa ini dari disinformasi yang menyesatkan.

Pers adalah tiang demokrasi. Tapi ia akan rapuh jika disusupi kepentingan. Oleh sebab itu, mari kita kembalikan jurnalisme ke marwahnya yakni kritis, obyektif, adil, dan berpihak pada keutuhan bangsa.

Kita tidak bisa hanya berharap pada elite politik, tokoh agama, atau aparat negara. Harapan terbesar justru ada pada anak muda, mereka yang melek teknologi, terbuka pikirannya, dan punya semangat perubahan. Jangan biarkan ruang digital jadi ladang caci maki. Jadikan ia sebagai alat pemersatu, media edukasi, dan arena perjuangan yang sehat.

Jika anak muda Indonesia bersatu, membentengi diri dengan literasi, serta menolak segala bentuk adu domba, maka tak akan ada ruang bagi mereka yang ingin menghancurkan negeri ini dari dalam.

Wahai rakyat Indonesia, mari kita saling mengingatkan bahwa perbedaan bukan alasan untuk bermusuhan. Bahwa lawan kita bukanlah sesama anak bangsa, tapi ketidaktahuan, keserakahan, dan kebencian. Jangan biarkan bendera kita sobek oleh tangan-tangan yang tak cinta negeri ini.

Jika kita kuat dalam persatuan, maka tak ada kekuatan mana pun yang bisa memecah kita. Tapi jika kita terus terpecah, maka tak perlu musuh dari luar, bangsa ini akan runtuh karena kesalahan kita sendiri.

Mari kembali ke ruh Pancasila. Mari rawat Indonesia dengan cinta, bukan dengan curiga. Mari jaga bangsa ini, karena Indonesia bukan warisan nenek moyang semata, melainkan titipan untuk anak cucu kita kelak.

“Jika engkau ingin menghancurkan sebuah bangsa, pecah belahlah terlebih dahulu rakyatnya.”
Ingat, Pepatah bijak diatas selalu relevan sepanjang zaman. (*)