LAMPUNG, (SA) – Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan Republik Indonesia (KLHK RI) menegaskan bahwa kawasan Gugus Pulau Anak Krakatau bukanlah destinasi wisata, melainkan Cagar Alam yang dilindungi secara ketat demi menjaga kelestarian ekosistem dan keanekaragaman hayati di dalamnya.
Pernyataan tegas ini disampaikan oleh Apriyan Sucipto, S.H., M.H., pegawai KLHK RI, menyikapi maraknya aktivitas wisata ilegal di kawasan tersebut. Ia mengingatkan bahwa kehadiran manusia tanpa izin di dalam area cagar alam dilarang keras, karena dapat menimbulkan gangguan serius terhadap proses-proses alami yang sedang berlangsung di pulau vulkanik itu.
“Gugus Pulau Anak Krakatau merupakan kawasan cagar alam yang harus dijaga. Ini bukan tempat wisata. Aktivitas manusia yang tidak terkontrol akan berdampak pada kerusakan ekosistem, mengganggu flora dan fauna endemik, serta mengacaukan proses alami yang sedang terjadi,” ujar Apriyan secara khusus kepada Suara Aktual, Minggu (6/7/2025).
Menurutnya, kawasan tersebut memiliki nilai ekologis yang tinggi dan menjadi laboratorium alam yang penting bagi dunia ilmu pengetahuan, khususnya dalam studi vulkanologi, biologi, dan konservasi.
KLHK mengacu pada Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya, yang menyatakan bahwa cagar alam adalah kawasan suaka alam yang karena kekhasan alamnya perlu dilindungi dan perkembangannya dibiarkan berlangsung secara alami.
“Masuk ke dalam kawasan cagar alam tanpa izin bisa dikenakan sanksi pidana. Kita harus edukatif dalam mendukung konservasi, bukan malah mengeksplorasi kawasan yang rentan,” tambah Apriyan.
KLHK menghimbau masyarakat dan wisatawan untuk menikmati keindahan Gunung Anak Krakatau dari luar kawasan cagar alam, seperti dari perairan sekitarnya atau pulau-pulau terdekat yang berada di zona pemanfaatan wisata alam.
Upaya ini juga menjadi bagian penting dalam menghormati proses pemulihan alam pasca-erupsi besar yang pernah terjadi pada akhir 2018 lalu. Anak Krakatau dikenal sebagai gunung berapi muda yang masih aktif dan terus mengalami perubahan geologis yang dinamis.
Dalam era media sosial saat ini, banyak pihak yang nekat masuk ke kawasan cagar alam hanya demi konten atau petualangan ekstrem. KLHK mengingatkan bahwa sensasi sesaat tidak sebanding dengan risiko kerusakan yang ditimbulkan.
“Konservasi bukan hanya soal aturan, tapi tentang kesadaran kolektif menjaga warisan alam untuk generasi mendatang,” pungkas Apriyan. (*)