Wartawan dan Rasa Malu

Oleh: Junaidi Ismail, SH | Wartawan Utama Dewan Pers

SEBAGAI seorang jurnalis, kita wajib memiliki rasa malu ketika menulis berita bohong atau menyebarkan hoaks. Rasa malu inilah yang menjadi benteng moral seorang wartawan agar tidak tergelincir pada praktik yang merusak marwah profesi dan mencederai kepercayaan publik.

Hari ini, bangsa kita tengah menghadapi situasi penuh kegentingan. Demonstrasi, kerusuhan, dan gejolak sosial muncul di berbagai kota di Indonesia. Dalam kondisi semacam ini, karya jurnalistik seharusnya hadir sebagai penyejuk, pembawa suasana dingin, dan pemberi perspektif jernih kepada masyarakat. Bukan sebaliknya, menambah keruh keadaan dengan provokasi, framing yang menyesatkan, atau bahkan berita palsu yang bisa memicu perpecahan.

Rasulullah SAW bersabda:
“Sesungguhnya di antara pedoman yang didapatkan manusia dari titah kenabian adalah: Jika kamu tidak malu, berbuatlah sesukamu.”
(HR. Bukhari)

Hadis ini mengajarkan bahwa rasa malu adalah salah satu pilar akhlak yang menjaga manusia dari berbuat kesalahan. Bagi seorang jurnalis, malu menulis berita yang tidak sesuai fakta adalah tanda masih hidupnya hati nurani. Malu menggadaikan profesi demi kepentingan sesaat berarti ia masih menjaga kehormatan dirinya dan lembaganya.

Sejarah pers Indonesia menunjukkan bahwa wartawan sejati selalu hadir di tengah gejolak bangsa sebagai penjaga akal sehat publik. Dari masa pergerakan kemerdekaan hingga reformasi, pers selalu mengambil peran penting dengan menyalakan lentera kebenaran di tengah gelapnya penindasan dan ketidakadilan.

Maka, di era penuh distraksi digital saat ini, wartawan kompeten harus kembali pada fitrah profesinya yakni menyampaikan kebenaran dengan hati yang jernih dan pikiran yang waras. Jika berita benar disajikan dengan perspektif mendidik, masyarakat akan lebih tenang menghadapi gejolak. Tetapi jika yang ditawarkan adalah sensasi, hoaks, atau agitasi, maka jurnalisme justru menjadi bara yang menghanguskan.

Rasa malu itulah yang membedakan wartawan sejati dengan penebar kabar burung. Malu kepada Tuhan, malu kepada masyarakat, dan malu kepada diri sendiri jika meninggalkan amanah profesi.

Di tengah situasi bangsa yang tidak menentu, mari kita, para penggiat pers, kembali menghidupkan rasa malu sebagai etika dasar dalam setiap karya jurnalistik. Dengan begitu, pers Indonesia akan tetap menjadi suluh penerang, bukan sekadar pengeras suara yang memekakkan telinga bangsa. (*)