Menulis Adalah Bekerja untuk Keabadian

Oleh: Junaidi Ismail, SH|Wartawan Utama.

TIDAK ada hidup tanpa masalah, dan tidak ada perjuangan tanpa rasa lelah. Namun dalam setiap lelah yang jujur, akan selalu ada makna yang kekal. Dan dalam setiap perjuangan yang dituliskan, akan ada warisan pemikiran yang abadi. Maka dari itu, menulis bukan sekadar aktivitas menuangkan kata, melainkan sebuah jalan sunyi menuju keabadian.

“Orang boleh pandai setinggi langit, tapi selama ia tidak menulis, ia akan hilang di dalam masyarakat dan dari sejarah. Menulis adalah bekerja untuk keabadian.” – Pramoedya Ananta Toer

Sejak peradaban manusia dimulai, tulisan telah menjadi penanda utama keberadaan suatu generasi. Bangsa yang besar tak hanya dibangun oleh kekuatan ekonomi atau senjata, tapi juga oleh kekayaan literasi. Dari Mesir Kuno dengan hieroglifnya, hingga Nusantara dengan aksara dan manuskripnya, semua menunjukkan satu hal, bahwa tulisan adalah jembatan antara masa lalu, masa kini, dan masa depan.

Seorang penulis, terlebih seorang jurnalis, memiliki peran penting dalam membangun jembatan itu. Ia mencatat, mengamati, dan mengabarkan. Ia tidak hanya bekerja dengan nalar, tetapi juga dengan nurani.

Di tengah dunia yang hiruk pikuk oleh informasi cepat dan sesaat, wartawan adalah penjaga kebenaran. Tugasnya bukan hanya melaporkan apa yang terjadi, tetapi menyuarakan apa yang perlu didengar. Ia menulis bukan untuk dirinya, tetapi untuk publik. Bukan untuk populer, tetapi untuk mengabadikan peristiwa dengan nilai dan makna.

Menulis bagi seorang wartawan adalah bentuk perlawanan terhadap lupa. Ia mengingatkan bahwa sejarah dibentuk bukan hanya oleh mereka yang berkuasa, tetapi juga oleh mereka yang merekam dan menyuarakan kebenaran, betapapun kecilnya.

Menulis bukan tentang hebatnya diksi atau panjangnya paragraf. Menulis adalah tentang kejujuran hati dan ketulusan pikiran. Tulisan yang keluar dari hati akan masuk ke hati. Ia mungkin tak dibaca hari ini, tetapi bisa menjadi pelita bagi generasi esok.

Tak jarang, tulisan yang ditulis dalam diam justru menjadi teriakan paling lantang dalam sejarah. Kita belajar dari para tokoh seperti Soekarno, Kartini, Tan Malaka, bahkan Pramoedya Ananta Toer sendiri, mereka menulis dalam keterbatasan, namun buah pikir mereka hidup abadi.

Hari ini, semua orang bisa berbicara lewat media sosial. Namun tak semua orang mampu menulis yang mencerdaskan. Kita perlu lebih banyak penulis, bukan hanya komentator. Kita butuh lebih banyak jurnalis yang menulis fakta, bukan sekadar mengejar sensasi.

Menulis bukan hanya tugas wartawan, tapi juga tanggung jawab setiap orang yang ingin perubahan. Dalam tulisan, ada kekuatan untuk menggugah, menggerakkan, bahkan mengguncang dunia.

Kita hidup dalam waktu yang terbatas. Namun tulisan memberi kita kesempatan untuk melampaui keterbatasan itu. Seperti kata Pramoedya, menulis adalah bekerja untuk keabadian. Maka jangan tunda lagi. Tulislah apa yang engkau pikirkan, rasakan, dan perjuangkan.

Karena bisa jadi, suatu hari nanti, tulisan kita akan menjadi cahaya bagi orang yang sedang gelap, semangat bagi yang mulai lelah, dan bukti bahwa kita pernah ada dan berjuang dalam sejarah umat manusia.

“Tetaplah berjuang hingga Allah SWT memberikan akhir yang indah.” (*)