Oleh: Junaidi Ismail, SH|Wartawan Utama Dewan Pers
DALAM arus deras informasi di era digital, kebenaran kerap kali tenggelam di antara riak-riak opini, prasangka, bahkan fitnah. Sejarah, yang seharusnya menjadi cermin kejernihan, justru tak jarang menjadi medan perebutan makna, dimanipulasi demi kepentingan kelompok atau kekuasaan.
Di tengah keadaan itu, karya tulis seperti Kasyf al-Sitār ʿan al-Dalāl wa al-Ashrār hadir sebagai penegas bahwa kebenaran tidak akan pernah padam, meski tertutup kabut waktu. Karya ini bukan sekadar kitab lama yang berdebu di rak perpustakaan, ia adalah suara dari masa lalu yang memanggil kita untuk bersikap adil dalam menilai, teliti dalam menimbang, dan rendah hati dalam menerima kebenaran, meski kadang pahit untuk ditelan.
Kita hidup di zaman ketika gelar, garis keturunan, atau label kelompok bisa menjadi pedang bermata dua, bisa memuliakan, bisa pula menjerumuskan. Kitab ini mengajarkan bahwa kebenaran tidak mengenal tebang pilih. Ia harus dibela, meski datang dari mereka yang berbeda pandangan, dan ia harus diterima, meski mengguncang keyakinan lama.
Bagi seorang jurnalis, pelajaran ini amat berharga. Tugas kita bukan sekadar menyampaikan berita, tapi juga menjaga warisan intelektual dari generasi ke generasi, agar kebenaran tak terkubur oleh narasi palsu. Setiap tulisan adalah ladang pertanggungjawaban, bukan sekadar jejak kata.
Dalam dunia yang hiruk pikuk oleh “versi-versi” sejarah, mari kita belajar dari para ulama dan penulis klasik yang mengorbankan waktu, tenaga, dan kadang nyawanya, demi menjaga kemurnian fakta. Sebab, hanya dengan kesetiaan pada kebenaran, peradaban akan berdiri kokoh, dan generasi mendatang akan tumbuh dengan pondasi yang benar.
Sejarah bukan milik pemenang, tapi milik kebenaran. Dan kebenaran, seperti air yang mengalir, akan selalu menemukan jalannya meski dihalangi ribuan batu. (*)