Kebebasan Pers dan Integritas Jurnalis

Oleh: Junaidi Ismail, SH | Wartawan Utama Dewan Pers

KEBEBASAN pers di Indonesia sudah memiliki payung hukum yang kuat. Konstitusi kita, UUD 1945 Pasal 28F, menjamin hak setiap orang untuk berkomunikasi dan memperoleh informasi. Jaminan itu diperkuat melalui Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers. Kehadiran regulasi ini menunjukkan betapa pentingnya pers dalam menjaga demokrasi, mendorong transparansi, dan memastikan akuntabilitas dalam setiap sendi kehidupan berbangsa.

Namun, kebebasan pers tidak boleh dimaknai sebatas kebebasan berbicara. Ia adalah amanah yang besar, menyampaikan kebenaran, memperjuangkan keadilan, dan melindungi hak publik atas informasi yang objektif. Karena itu, profesi wartawan tidak cukup hanya bermodal keberanian dan kemampuan menulis. Ia menuntut pengetahuan, keterampilan, kode etik, organisasi profesi, dan yang paling utama adalah integritas.

Wartawan sejati adalah mereka yang setia kepada profesinya sekaligus berpihak kepada rakyat. Terutama rakyat kecil yang sering menjadi korban ketidakadilan. Tugas jurnalis bukan sekadar menyusun kata, melainkan menghadirkan suara bagi yang tak terdengar.

Kita harus ingat, jurnalis tidak hidup dengan kata-kata saja, meski terkadang ia harus “memakan” kata-katanya sendiri. Profesi ini keras. Ada tekanan tenggat waktu, ada risiko di lapangan, ada konflik kepentingan yang kerap menggoda. Tetapi justru di situlah letak keindahan jurnalisme, ia adalah senjata perubahan sosial yang cepat, meski sifatnya jangka pendek.

Di tengah derasnya arus informasi dan banjirnya buku, berita, dan judul-judul sensasional, pembaca dituntut untuk semakin bijak. Begitu pula jurnalis, tidak boleh berhenti di permukaan, tidak cukup hanya menjadi pembawa pesan. Seorang jurnalis mesti memahami agenda yang tersembunyi di balik berita, serta mitos-mitos yang kerap membungkus kebenaran.

Pers sejatinya adalah instrumen pencerahan. Ia berfungsi meningkatkan kualitas manusia sebagai makhluk rasional, moral, dan sosial. Pers bukan hanya tentang headline dan rating, melainkan tentang tanggung jawab mencerdaskan bangsa.

Kebebasan berbicara memang memberi kita hak untuk menyinggung orang lain. Tetapi kebebasan berpikir juga memberi mereka pilihan, mau tersinggung atau justru mengambil pelajaran. Di titik inilah etika dan kebijaksanaan seorang jurnalis diuji.

Seorang jurnalis harus berani bangun lebih pagi daripada orang lain, menulis lebih cepat, dan berpikir lebih kritis. Jika kalimat pertama tidak mampu menarik pembaca, maka kalimat kedua kehilangan makna. Adrenalin jurnalisme nyata, ia tentang berita utama, tenggat waktu, dan garda terdepan informasi.

Tetapi di balik semua itu, jurnalis juga manusia. Jangan persulit hidup dengan membenci orang lain, karena usia kita semakin berkurang dan ajal semakin dekat. Lebih baik sibukkan diri dengan memperbaiki kualitas pribadi, tanpa harus merasa paling baik dibanding yang lain.

Karena sebaik-baiknya manusia bukanlah mereka yang tampak hebat di depan publik, melainkan yang mampu menjaga hati, rendah hati dalam sikap, dan bermanfaat bagi sesamanya. Nilai hidup bukan terletak pada pengakuan, tetapi pada ketulusan.

Jurnalisme pun begitu. Nilainya ditentukan seberapa tulus ia memperjuangkan kebenaran dan memberi manfaat bagi masyarakat. (*)