Oleh: Junaidi Ismail, SH | Wartawan Utama Dewan Pers
BAYANGKAN sebuah kapal yang memilih berlabuh selamanya di dermaga. Ia aman dari badai, terhindar dari gelombang, dan tak akan pernah tenggelam. Namun, ia juga tak akan pernah merasakan harum angin laut, tak akan tahu luasnya samudra, dan tak akan sampai ke pulau impian yang menunggu di kejauhan.
Begitulah hidup ketika kita terlalu takut dikritik. Kita memilih berteduh di zona nyaman, menghindari risiko, dan menutup telinga dari suara luar. Kita memang aman, tapi kita juga diam di tempat.
Sebaliknya, mereka yang berani bertindak dan bersuara, yang mau melangkah meski arus menentang, akan berlayar ke tengah samudra kehidupan. Mereka pasti akan menghadapi badai kritik, ada yang datang seperti riak kecil, ada pula yang menghantam seperti gelombang raksasa. Tapi dari setiap badai itu, mereka belajar, tumbuh, dan menjadi nakhoda yang lebih tangguh.
Kebebasan sejati bukanlah berada di pelabuhan yang sunyi, melainkan ketika kita mampu menatap cakrawala, menantang ombak, dan menerima segala konsekuensinya dengan kepala tegak.
Aristoteles pernah berkata, “Kita tak perlu takut ketika dikritik. Kritik adalah harga yang harus dibayar oleh mereka yang berani hidup dan membuat perbedaan.”
Maka, jangan biarkan ketakutan mengikat jangkar kita. Berlayarlah. Hadapi kritik seperti kita menghadapi badai, bukan untuk menghindar, tapi untuk membuktikan bahwa kita mampu melaluinya. Sebab hanya kapal yang berlayar yang punya kesempatan sampai ke tujuan. (*)