Oleh: Junaidi Ismail, SH | Wartawan Utama Dewan Pers
MENJADI jurnalis bukanlah perkara mudah. Kita dituntut untuk selalu hadir di tengah masyarakat, menyampaikan fakta, menjaga kepercayaan publik, sekaligus mengasah diri agar tetap relevan dengan perkembangan zaman. Namun, ada satu hal yang sering kali dilupakan, jurnalis tidak harus serba bisa.
Kita tidak dituntut untuk menguasai semua bidang. Cukup temukan satu bidang yang benar-benar membuat kita bahagia, lalu tekuni dengan sepenuh hati. Dari sanalah, seorang jurnalis akan tumbuh menjadi sosok yang hebat, bukan karena bisa melakukan semuanya, melainkan karena fokus, mendalam, dan konsisten pada jalannya sendiri.
Dalam perjalanan seorang wartawan, pasti ada masa lalu yang penuh liku, liputan yang gagal, berita yang luput, bahkan kritik pedas dari publik atau narasumber. Namun, masa lalu bukanlah beban. Ia adalah guru terbaik. Tidak ada gunanya menyesali hal yang sudah terjadi. Yang lebih penting adalah menjadikannya cermin agar kita melangkah lebih matang, lebih berhati-hati, dan lebih bijaksana.
Seorang jurnalis yang bijak tahu bahwa setiap kegagalan adalah bekal untuk keberhasilan. Ia tidak terjebak dalam penyesalan, melainkan berusaha bangkit dengan nilai-nilai baru yang dipetik dari pengalaman.
Hidup, pada akhirnya, adalah skenario dari Yang Mahakuasa. Wartawan pun tidak luput dari ujian. Ada kalanya kita menghadapi tekanan, ancaman, bahkan fitnah. Ada pula masa-masa ketika idealisme berbenturan dengan realitas.
Namun, semua itu bukan untuk dihindari. Masalah hadir justru agar kita belajar menghadapinya dengan jiwa besar, hati yang bersyukur, dan pandangan positif. Rasa syukur akan menenangkan jiwa, sementara pandangan positif akan membuka jalan bagi pintu-pintu kesempatan yang sebelumnya tertutup.
Bersyukur bukan berarti pasrah. Bersyukur adalah menerima keadaan dengan lapang dada, lalu tetap berusaha melakukan yang terbaik. Dalam dunia kewartawanan, ini berarti tetap menulis meski diterpa kritik, tetap meliput meski kondisi sulit, tetap menjaga integritas meski dihadapkan pada godaan.
Tidak semua orang mampu bersyukur. Banyak yang lebih suka mengeluh, membandingkan diri, atau merasa tidak puas dengan apa yang dimiliki. Maka ketika seorang wartawan mampu bersyukur, sesungguhnya ia adalah wartawan yang beruntung.
Beruntung bukan karena hidupnya tanpa masalah, melainkan karena ia mampu mengubah masalah menjadi pelajaran, mengubah tekanan menjadi motivasi, dan mengubah kegagalan menjadi semangat baru.
Pada akhirnya, menjadi wartawan bukan sekadar profesi, melainkan jalan pengabdian. Wartawan yang bersyukur akan lebih kuat menghadapi badai, lebih tenang menapaki jalan, dan lebih tulus dalam berkarya.
Maka, mari kita syukuri apa pun keadaan yang sedang kita jalani hari ini. Dengan bersyukur, kita bukan hanya menjadi wartawan yang profesional, tetapi juga wartawan yang beruntung, karena hati yang bersyukur adalah sumber kekuatan sejati. (*)