Hati yang Serakah

Oleh: Junaidi Ismail, SH | Wartawan Utama Dewan Pers

DALAM denyut kehidupan modern yang hiruk pikuk, banyak dari kita seolah tak sempat menoleh ke belakang, apalagi menatap ke atas. Semua berlomba-lomba mengejar dunia, harta, jabatan, popularitas, dan status sosial. Namun benarkah semua itu membawa kita kepada kebahagiaan hakiki?

Sebagai umat Muslim, kita telah diingatkan sejak 14 abad silam tentang hakikat dunia: ia fana, semu, dan hanya permainan. Namun mengapa hati ini tetap saja terikat kuat pada gemerlapnya?

Nabi Muhammad SAW, manusia paling mulia, pernah bersabda, “Sekiranya anak Adam memiliki dua lembah emas, niscaya ia menginginkan yang ketiga…” (HR. Bukhari-Muslim). Betapa tajamnya sabda ini menggambarkan sifat dasar manusia tak pernah puas. Hari ini kita ingin motor, besok mobil, lusa rumah megah. Padahal ketika mati, kita hanya akan dibungkus kain kafan.

Satu kata kunci yakni lalai. Kita lalai bahwa dunia hanyalah tempat persinggahan. Kita lupa bahwa semua yang kita kumpulkan, uang, properti, bahkan gelar tak satu pun bisa menolong saat napas berhenti. Yang dibawa hanyalah amal, bukan rekening.

Rasa tidak puas lahir dari hati yang belum cukup terisi oleh Allah dan akhirat. Ia seperti bejana bocor: diisi sebanyak apa pun, tetap kosong. Maka muhasabah atau introspeksi menjadi sangat penting agar kita sadar ke mana arah perjalanan hidup ini.

Hidup bukan berarti harus miskin atau menjauh dari dunia. Dunia perlu, bahkan wajib kita kelola. Namun hati jangan diperbudak dunia. Kita yang harus memegang kendali. Dunia hanya alat, bukan tujuan.

Menata niat, menyusun ulang prioritas, dan menyeimbangkan antara kerja dunia dan persiapan akhirat adalah langkah awal. Praktisnya bisa dimulai dari membatasi cinta pada harta, memperbanyak syukur, serta mengamalkan rezeki dalam kebaikan.

Misalnya, seorang wartawan bukan sekadar mencari berita demi rating atau viralitas, tapi harus menjadikan profesinya sebagai ladang amal. Menyuarakan kebenaran, berpihak pada yang lemah, dan menulis demi kemaslahatan umat adalah bentuk amal jariyah yang tak ternilai.

Dengan mengingat kematian dan akhirat, hati akan lebih lapang. Tak gampang iri, tak mudah tamak, tak sering gelisah. Kita akan sadar bahwa dunia bukan tempat tinggal, melainkan tempat singgah.

Dunia hanyalah ladang amal, bukan tujuan akhir. Ia seperti pasar: tempat kita membeli bekal untuk perjalanan jauh. Maka bijaklah memilih barang yang dibeli. Jangan habiskan waktu mengejar yang tak akan kita bawa ke liang lahat.

Akhir kata, mari kita tanamkan dalam hati bahwa dunia bukanlah segalanya. Dunia hanyalah jembatan menuju kehidupan abadi. Mari perbaiki niat, perbanyak amal, dan rendahkan hati. Karena sesungguhnya, kebahagiaan hakiki ada pada hati yang tidak selalu ingin dunia, tapi selalu merindukan akhirat.

“Ketahuilah, sesungguhnya kehidupan dunia itu hanyalah permainan, senda gurau, perhiasan, saling berbangga, dan berlomba dalam kekayaan serta anak keturunan…”
(QS. Al-Hadid: 20). (*)